PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS ANAK

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang Masalah

       Anak adalah anugerah sekaligus amanah yang diberikan oleh Allah S.W.T kepada pasangan suami istri sehingga bisa dikatakan bahwa anak sebagai sosok yang istimewa. Menurut Dr.Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Amerika bahwa setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan mereka dapat menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan itu antara lain seperti keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas dan fleksibelitas. Dilihat dari sudut ini, seharusnya tugas setiap orang tua dan guru hanyalah mempertahankan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini agar bertahan sampai anakanak itu tumbuh dewasa. (Revina M&M. Faqih, 2013).

       Masa anak usia dini merupakan masa keemasan atau sering disebut dengan golden age period karena pertumbuhan dan perkembangan berlangsung sangat singkat dan peka terhadap lingkungan. Dari konsepsi hingga anak usia dini merupakan periode dimana resiko dan kesempatan untuk tumbuh kembang anak (Martani, 2013, Engle and Huffman, 2010). Masa ini biasanya ditandai oleh perubahan cepat dalam perkembangan fisik, kognitif, sosial dan emosional. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan potensi fisik (motorik), intelektual, emosional, sosial, bahasa, seni dan moral spiritual.

       Untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal dari seorang anak tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seseorang, merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial dan perilaku. Lingkungan yang menunjang akan mengoptimalkan potensi genetik yang dipunyai seorang anak (Soetjiningsih, 2012).

       Menurut Effendi (1995) keluarga memiliki peranan utama didalam mengasuh anak, di segala norma dan etika yan berlaku didalam lingkungan masyarakat, dan budayanya dapat diteruskan dari orang tua kepada anaknya dari generasi-generasi yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

       Peran keluarga juga dapat memberikan tingkat kepercayaan diri anak adalah dalam memberikan ruang gerak kepada anaknya untuk dapat beraktualisasi dengan teman sebayanya juga dengan orang lain. Peran pendidikan social ini dapat di berikan oleh keluarga pada saat orang tua dapat meluangkan waktunya dengan anaknya, juga dapat di fasilitasi atau menyediakan tempat kepada anak untuk dapat bermain dengan pengawasan orang tuanya yakni melalui tempat bermain danlainnya. Juga perkembangan social anak dapat di lakukannya melalui peran keluarga dalam memilihkan cara yang baik untuk ananknya dalam memberikan suatu pilihan dengan siapa anak itu dapat berkomunikasi dan bersikap dengan baik. Hal ini sebaiknya dalam pengawasan control anggota keluarga anak tersebut atau orang yang di percayai oleh orang tua anak dalam hubungan perkembangan social anaknya tersebut.

       Menurut Yuliani, (2008) salah satu yang menjadi unsur perkembangan sosial adalah perkembangan kepribadian. Peran orang tua adalah menyediakan banyak peluang bagi anak-anak untuk membangun kepercayaan, membuat berbagai macam pilihan serta merasakan sukses dari pilihan yang mereka buat sendiri. Selain itu, membantu anak-anak untuk mengenali kebutuhan dan perasaan mereka sendiri merupakan hal yang penting di dalam membangun kepercayaan anak. Anak harus merasakan bahwa gagasannya adalah gagasan yang baik dan orang lain menghormati gagasan itu.

         

  

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Pengaruh Lingkungan Terhadap Perkembangan Anak

1.    Lingkungan Keluarga

Keluarga dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Predikat ini mengindikasikan betapa esensialnya peran dan pengaruh lingkungan keluarga dalam pembentukan perilaku dan kepribadian anak.

Pandangan yang sangat menghargai posisi dan peran keluarga sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang istimewah. Pandangan seperti ini sangat logis dan mudah dipahami karena beberapa alas an berikut ini.

a.    Keluarga lazimnya merupakan, pihak yang paling awal memberikan banyak perlakuan kepada anak. Begitu anak lahir, lazimnya pihak keluargalah yang langsung menyambut dan memberikan layanan interaktif kepada anak.

b.    Sebagian besar waktu anak lazimnya dihabiskan di lingkungan keluarga.

c.    Karakteristik hubungan orang tua-anak berbeda dari hubungan anak dengan pihak-pihak lainnya (guru, teman, dan sebagainya ).

d.    Interaksi kehidupan orang tua-anak di rumah bersifat “asli”, seadanya dan tidak dibuat-buat. 

Peran keluarga lebih banyak memberikan pengaruh dukungan, baik dari dalam penyediaan fasilitas maupun penciptaan suasana belajar yang kondusif. Sebaliknya, dalam hal pembentukan perilaku, sikap dan kebiasaan, penanaman nilai, dan perilaku-perilaku sejenisnya, lingkungan keluarga bisa memberikan pengaruh yang sangat dominant. Di sini lingkungan keluarga dapat memberikan pengaruh kuat dan sifatnya langsung berkenaan dengan pengembangan aspek-aspek perilaku seperti itu, keluarga dapat berfungsi langsung sebagai lingkungan kehidupan nyata untuk memperaktekkan aspek-aspek perilaku tersebut. Karena itu tidaklah mengherankan kalau Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2/1989 menyatakan secara jelas bahwa keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai-nilai moral, dan keterampilan.

Selanjutnya, Radin menjelaskan 6 kemungkinan cara yang dilakukan orang tua dalam mempengaruhi anak, yakni sebagai berikut ini.

a.    Permodelan perilaku (modeling of behavior). Baik disengaja atau tidak, orang tua dengan sendirinya akan menjadi model bagi anaknya. Imitasi bagi anak tidak hanya yang baik-baik saja yang diterima oleh anak, tetapi sifat-sifat yang jeleknyapun akan dilihat pula.

b.    Memberikan ganjaran dan hukuman (giving rewards and punishments). Orang tua mempengaruhi anaknya dengan cara memberikan ganjaran terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh anaknya dan memberikan hukuman terhadap beberapa perilaku lainnya.

c.    Perintah langsung (direct instruction).

d.    Menyatakan peraturan-peraturan (stating rules).

e.    Nalar (reasoning). Pada saat-saat menjengkelkan, orang tua bias mempertanyakan  kapasitas anak untuk bernalar, dan cara itu digunakan orang tua untuk mempengaruhi anaknya.

f.     Menyediakan fasilitas atau bahan-bahan dan adegan suasana (providing materials and sttings). Orang tua dapat mempengaruhi perilaku anak dengan mengontrol fasilitas atau bahan-bahan dan adegan suasana.

Perkembangan moral anak akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan keluarganya. Karenaya, keharmonisan keluarga menjadi sesuatu hal mutlak untuk diwujudkan, misalnya suasana rumah. Ketika keikhlasan, kejujuran dan kerjasama kerap diperlihatkan oleh masing-masing anggota keluarga dalam hidup mereka setiap hari, maka hampir bisa dipastikan hal yang sama juga akan dilakukan anak bersangkutan.

Sebaliknya, anak akan sangat sulit menumbuhkan dan membiasakan berbuat dan bertingkah laku baik manakala di dalam lingkungan keluarga (sebagai ruang sosialasi terdekat, baik fisik maupun psikis) selalu diliputi dengan pertikaian, pertengkaran, ketidakjujuran, kekerasan, baik dalam hubungan sesama anggota keluarga ataupun dengan lingkungan sekitar rumah.

Demikian pula status sosio - ekonomi. Status sosio-ekonomi, dalam banyak kasus menjadi sangat dominan pengaruhnya. Ini sekaligus menjadi latar mengapa anak-anak tersebut memutuskan terjun ke jalanan. Namun selain faktor tersebut (ekonomi), masih ada penyebab lain yang juga akan sangat berpengaruh mengapa anak memutuskan tindakannya itu, yakni peranan lingkungan rumah, khususnya peranan keluarga terhadap perkembangan nilai-nilai moral anak, dapat disingkat sebagai berikut:

  1. Tingkah laku orang di dalam (orangtua, saudara-saudara atau orang lain yang tinggal serumah) berlaku sebagai suatu model kelakuan bagi anak melalui peniruan-peniruan yang dapat diamatinya.
  2. Melalui pelarangan-pelarangan terhadap perbuatan-perbuatan tidak baik, anjuran-anjuran untuk dilakukan terus terhadap perbuatan-perbuatan yang baik misalnya melalui pujian dan hukuman.
  3. Melalui hukuman-hukuman yang diberikan dengan tepat terhadap perbuatan-perbuatan yang kurang baik atau kurang wajar diperlihatkan, si anak menyadari akan kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatan-perbuatannya.

B.  Lingkungan Sekolah

            Sekolah telah menjadi bagian dari kehidupan anak-anak. Mereka di sekolah bukan hanya hadir secara fisik, melainkan mengikuti berbagai kegiatan yang telah dirancang dan diprogram sedemikian rupa. Karena itu disamping keluarga, sekolah memiliki peran yang sangat berarti bagi perkembangan anak. Guru adalah orang-orang yang sudah dididik dan dipersiapkan secara khusus dalam bidang pendidikan. Mereka menguasai sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang bisa menjadi stimulus bagi perkembangan anak-anak lengkap dengan penguasaan metodologi pembelajarannya. Dalam konteks perkembangan anak, hal tersebut merupakan salah satu sisi keunggulan guru dari pada orang-orang dewasa lain pada umumnya. Karenanya lazimnya pengalaman interaksi pendidikan dengan guru di sekolah akan lebih bermakna bagi anak dari pada pengalaman interaksi dengan sembarang orang dewasa lainnya. Dengan kata lain, interaksi pendidikan di sekolah tidak hanya berkenaan dengan perkembangan aspek-aspek pribadi lainnya.

            Akhirnya dapat disimpulkan bahwa dilihat dari sisi perkembangan anak, sekolah berfungsi dan bertujuan untuk memfasilitasi proses perkembangan anak, secara menyeluruh sehingga dapat berkembang secara optimal sesuai dengan harapan-harapan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Meskipun tampaknya di sekolah itu sangat dominan dalam perkembangan aspek intelektual dan kognisi  anak, namun sebenarnya sekolah berfungsi dan berperan dalam mengembangkan segenap aspek perilaku termasuk perkembangan aspek-aspek sosial moral dan emosi.

            Dijelaskan oleh Bredekamp bahwa sasaran kurikulum sekolah yang tepat itu adalah :

a.    Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan anak dalam semua bidang perkembangan fisik, sosial, emosi dan intelektual guna membangun suatu fundasi untuk belajar sepanjang hayat;

b.    Mengembangkan harga diri anak, rasa kompoten dan perasaan-perasaan positif terhadap belajar. Sekolah-sekolah di Indonesia juga tidak terlepas dari fungsi dan peranannya dalam mengembangkan keimanan dan ketakwaan anak sehingga mereka menjadi manusia-manusia yang beragama dan beramal kebajikan.

 

C.  Lingkungan Masyarakat

Masyarakat tempat anak-anak hidup dan bergaul, dengan orang dewasa yang juga memiliki peran dan pengaruh tertentu dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Disana mereka bergaul, melihat orang – orang beperilaku dan menemukan sejumlah aturan dan tuntutan yang seyogjanya dipenuhi oleh yang bersangkutan.

Perkembangan anak, dari lingkungan keluarga, sekolah, lingkungan masyarakat dapat mendukung perkembangan anak di keluarga maupun di sekolah, begitupun sebaliknya. Selain ada dampak positif dari teman sebaya, beberapa ahli menekankan pengaruh negatif dari teman sebaya pada perkembangan remaja. Remaja yang mengalami penolakan dan pengabaian oleh teman sebaya memunculkan perasaan kesepian atau permusuhan yang dihubungkan dengan kesehatan mental dan problem kejahatan. Teman sebaya dapat mengenalkan remaja pada alkohol, narkoba, kenakalan, dan berbagai bentuk perilaku maladaptive (Santrock, 2003), seperti pencurian,perilaku asusila bahkan kekerasan dan pembunuhan. Pada masa remaja, berkembang sikap konformitas yang merupakan kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan teman sebayanya, sehingga bila teman sebaya merupakan anak-anak yang delinkuen maka mereka akan cenderung untuk ikut menjadi delinkuen.

            Perkembangan dunia saat ini memberikan lingkungan sosial terbaik sekaligus terburuk bagi Anak/remaja. Kemudahan dalam mengakses informasi dan pengetahuan dapat menjadi hal yang berbahaya bagi remaja, bila dalam memilih informasi dan pengetahuan tidak mendapatkan bimbingan dari orang dewasa di sekitarnya. Banyak Anak/Remaja yang mengambil informasi dan pengetahuan yang salah atau tidak tepat bagi usianya, sehingga terjerumus dalam perilaku, gaya hidup atau ideologi yang tidak bisa diterima oleh masyarakat seperti gaya hidup free sex, penggunaan narkoba atau terlibat dengan kelompok-kelompok terorisme dan kriminal. Melalui media, Anak/Remaja dihadapkan pada pilihan gaya hidup yang kompleks (Sandrock, 2003). Banyak Anak/Remaja yang menghadapi godaan-godaan ini, termasuk aktifitas sexual pada usia yang semakin muda.

            Tayangan sebagian besar stasiun televisi yang berbau kekerasan dan seks yang dilakukan oleh selebritis, tokoh publik maupun masyarakat lainnya, mengakibatkan pesan-pesan yang disampaikan media terkait dengan kekerasan dari tokoh-tokoh yang seharusnya menjadi model bagi tumbuh kembang Anak/Remaja tertanam sangat kuat dalam benak mereka. Klip musik, iklan, film atau sinetron seringkali menampilkan adegan seks bebas, perselingkuhan, kekerasan, transgender, pembunuhan dan kriminalitas yang diekspos secara vulgar juga menjadi faktor yang dapat mendorong Anak/Remaja untuk mencoba-coba atau menirunya. Dalam belajar sosial (Bandura dalam Sandrock, 2003), fungsi role model sangat penting. Saat role model yang tampil di media-media elektronik maupun sosial mempertontonkan perilaku negatif yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, hal itu dapat dianggap sebagai perilaku yang benar secara sosial dan ditiru oleh Anak/Remaja.

Setiap masyarakat meneruskan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan dengan cara seperti itulah peradaban berlangsung (Sandrock, 2003). Dewasa ini, di mana akses informasi sangat mudah diperoleh oleh Anak/Remaja, pilihan nilai dan norma sosial menjadi sangat luas, banyak nilai-nilai yang diakses oleh Anak/Remaja, yang mungkin tidak sesuai dengan budaya dan norma sosial masyarakat Indonesia, sehingga seringkali Anak/Remaja menghadapi kebingungan dalam memilih dan mengambil nilai-nilai yang bertentangan itu dan tidak jarang terjadi konflik antara Anak/Remaja dengan orang tua atau masyarakat terkait dengan perbedaan nilai dan norma ini.

Masalah lingkungan sosial lain yang dihadapi Anak/Remaja adalah adanya pesan ambivalen dari masyarakat terhadap mereka (Sandrock, 2003). Misalnya, orang dewasa menuntut Anak/Remaja untuk mandiri, tapi di sisi lain mereka tidak diijinkan untuk membuat keputusan secara mandiri tentang hidupnya, pilihan sekolah, pilihan teman hidup dan lainnya. Contoh lainnya, Anak/remaja tidak boleh mengendarai motor sebelum usia 17 tahun, namun banyak masyarakat yang sudah mengajari anaknya untuk naik motor sejak usia SMP bahkan SD. Anak/Remaja diharapkan bersikap naif tentang sex, tetapi akses tentang sex sangat mudah diperoleh dari berbagai media. Anak atau remaja juga dilarang menggunakan narkoba, namun di sekitar mereka banyak orang dewasa yang melakukan penyalahgunaan narkoba, minum dan perokok berat.

D. Teori Perkembangan Albert Bandura

1. Teori Kepribadian Albert Bandura

A.    Teori Belajar Sosial

Teori  Bandura yang sangat terkenal adalah teori belajar sosial yang  menekankan pada kognitif dari pikiran, pemahaman, dan evaluasi. Salah satu asumsi penting awal dan mendasar teori belajar sosial Bandura adalah manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun berprilaku dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari ini semua adalah pengalaman-pengalaman tak terduga.

Pembelajaran Sosial yang dikemukakan oleh Bandura telah memberi penekanan tentang bagaimana perilaku manusia dipengaruhi oleh persekitaran melalui peneguhan (reinforcement) dan pembelajaran peniruan (observational learning), dan cara berfikir yang kita miliki terhadap sesuatu maklumat dan juga sebaliknya, yaitu bagaimana tingkah laku kita mempengaruhi persekitaran dan menghasilkan peneguhan (reinforcement) dan peluang untuk diperhatikan oleh orang lain (observational opportunity).

Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Contohnya, seorang yang hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap bahwa judi itu adalah tidak baik. Bandura menghipotesiskan bahwa tingkah laku, lingkungan dan kejadian -kejadian internal pada pelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh atau berkaitan.

Kita dapat katakan bahwa teori belajar sosial bandura ini menjelaskan mengenai tentang hubungan kepribadian, lingkungan, dan tingkah laku manusia merupakan hasil interaksi timbal balik yang terus menerus antara faktor-faktor penentu yaitu: faktor internal seperti, kognisi, persepsi, dan faktor lainnya yang mempengaruhi kegiatan manusia) dan ada juga faktor eksternal yaitu lingkungan. Proses ini di sebut dengan “ reciprocal  determinism”  dimana manusia mempengaruhinasibnya dengan mengontrol kekuatan lingkungan, tetapi mereka juga dikontrol  oleh kekuatan-kekuatan  lingkungan tersebut.

 

E. Pembelajaran Pengamatan (Observational Learning) dalam Teori Belajar Sosial Bandura

            Bandura berpendapat bahwa pembelajaran dengan mengamati jauh lebih efisien dari pada pembelajaran dengan mengalami langsung. Dengan mengamati orang lain, manusia mempelajari respons mana yang diikuti hukuman atau yang mana yang tidak mendapat penguatan.

            Ada dua Pembelajaran melalui pengamatan (Observation Learning) yaitu:

a.    Pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerana perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya.

  1. Pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.

            Bandura kemudian mejelaskan empat fase yang mempengaruhi dalam pembelajaran pengamatan ini. Empat fase tersebut yaitu:

  1. Fase Atensi / perhatian

Fase pertama dalam pembelajaran pengamatan ialah memberikan perhatian pada orang/model yang ditiru. Keinginan  untuk meniru orang/model karena orang/model tersebut mempunyai sifat dan kualitas hebat,berkuasa dan sifat-sifat lainnya. Dan keinginan memperhatikan dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan dan minat pribadi. Semakin ada hubungannya dengan kebutuhan dan minatnya,semakin mudah tertarik  perhatiannya.

  1. Fase Retensi  / pengingatan

Setelah memperhatikan tingkah laku yang sama dengan model tersebut, maka anak akan melakukan proses retensi atau mengingat denga menyimpan memori menganai model yang dia lihat  dalam bentuk simbol-simbol dan kemudian menyimpan dalam ingatannya.

c.    Memproduksi  gerak motoric

Komponen ketiga dalam proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan menjadi tindakan dan ini juga meliputi kekuatan fisik.

  1. Fase Motivasi

Orang tidak akan memperagakan atau melaksanakan setiap hal yang dipelajarinya lewat proses pengamatan, bergantung pada kemauan atau motivasi yang ada. Misalnya karena ada hadiah, maka anak akan melakukan hal itu, begitu juga sebaliknya.

F. Teori Peniruan (Modeling)

Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan persekitaran. Kemudian Bandura mengemukakan teori pembelajaran peniruan (observational learning), dalam teori ini beliau telah menjalankan kajian bersama Walter (1963) ke atas kesan perlakuan kanak-kanak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan tukul besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video kanak-kanak ini diarah bermain di bilik permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam video. Setelah kanak-kanak tersebut melihat patung tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton dalam video (Ramlah Jantan & Mahani Razali 2004).

            Unsur Utama Dalam Peniruan :

  1. Attention / Perhatian
  2. Retention / Penyimpanan
  3. Reproduction
  4. Mitivate / Motivasi

            Ciri-Ciri Teori Peniruan

  1. Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan.
  2. Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain -lain
  3. Pelajar meniru sesuatu kemahiran daripada kece kapan demontrasi guru sebagai model.
  4. Pelajar memperoleh kemahiran jika memperoleh kepuasan dan peneguhan yang berpatutan.
  5. Proses pembelajaran meliputi pemerhatian, peringatan, peniruan dgn tingkah laku atau gerak balas yg sesuai, diakhiri dengan pene guhan positif.

            Jenis-Jenis Peniruan

  1. Peniruan langsung

Pembelajaranan langsung adalah model pembelajaranan yang dirancang untuk mengajarkan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang diajarkan setahap demi setahap. Ciri khas  pembelajaranan ini adalah adanya modeling, iaitu suatu fasa di mana seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu keterampilan itu dilakukan.

  1. Peniruan tak langsung

Peniruan adalah melalui imaginasi atau pemerhatian secara tidak langsung.

  1. Peniruan gabungan.

Peniruan jenis ini adalah dengan cara menggabung tingkah laku yang berlainan yaitu peniruan langsung dan tidak langsung.

  1. Peniruan sekat laluan

Tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja.

  1. Peniruan tak sekat laluan

Tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam apa-apa situasi.

            Faktor-faktor Penting dalam Pembelajaran Melalui Pemerhatian

  1. Attention / Perhatian
  2. Retention / Penyimpanan
  3. Reproduction
  4. Mitivate / Motivasi

G. Kebihan Teori Albert Bandura

            Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya, karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri.

            Pendekatan teori belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak – anak. Penelitian ini berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak – anak, faktor social dan kognitif.

 

H. Kelemahan Teori Albert Bandura

            Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan pengulangan dalam mendalami sesuatu yang ditiru.

Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang negative, termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat. Teori belajar sosial ini hanya memfokuskan pada penggabungan kognitif internal dan perilaku sosial saja, namun hubungan timbal balik antar faktor yang salaing mempengaruhi tidak dijelaskan secara mendetil.

BAB III

PENUTUP

 

            Proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak sangat pesat dan dapat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya. Dunia anak berbeda dengan dunia orang dewasa, dimana ia masih aktif, bebas berfantasi dan berimajinasi, tidak pernah mengenal kata lelah, penuh rasa ingin tahu/ penasaran yang kuat dengan apa yang dilihat dan didengarnya. Terkadang waktu belajar lebih menyukai dengan permainan karena anak menyukai hal-hal yang mengasyikkan tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Dengan bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman maupun lingkungan sekitar, seorang anak membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa merupakan hal mendasar dan sangat penting dalam perkembangan seorang anak.

 

                  

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Effendi, Suratman, Ali Thaib, Wijaya, Dan B. Chasrul Hadi. 1995. Fungsi Keluarga Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jambi: Departemen Pendidikan dan Kebudayan.

Engle, P. and Huffman, S. L. 2010. Growing Children’s Bodies and Minds: Maximizing Child Nutrition and Development. Food and Nutrition Bulletin. 31 (2): 186-197.

Joao, Ricardo. dkk. 2018. Associations between children’s family environment, spontaneous brain oscillations, and emotional and behavioral problems. European Child & Adolescent Psychiatry (2019) 28:835–845. (2019) 28:835–845.

J.G. Simmons. dkk. 2017. Study protocol: families and hildhood transitions study (FACTS) – a longitudinal investigation of the role of the family environment in brain development and risk for mental health disorders in community based children. Simmons et al. BMC Pediatrics. (2017) 17:153 DOI 10.1186/s12887-017-0905-x.

Khaled, Sarsour. dkk. 2010. Family Socioeconomic Status and Child Executive Functions: The Roles of Language, Home Environment, and Single Parenthood. Journal of the International Neuropsychological Society (2011). 17, 120–132

Lucy, Bowes. dkk. 2010. Families promote emotional and behavioural resilience to bullying: evidence of an environmental effect. Journal of Child Psychology and Psychiatry. 51:7 (2010), pp 809–817

Martani, W., 2012. Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini. Jurnal Psikologi. 39 (1).

Radhy, Muh. Syakir. 2011. Perkembangan Perserta Didik. Parepare

Revina M & M. Faqih. 2013.Rahasia 10 AnakJenius di Dunia. Titik Media Publisher.

Santrock, J.W. (2003). Life- Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Edisi Kelima. Jilid 2. Alih Bahasa: Damanik, J., dan Chusairi, A. Jakarta: Erlangga.

Soetjiningsih., 2012. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Yuliani N. S. 2008. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, hlm.72; Carol Seefeldt & Barbara A. Wasik, Early Childhood Education, terj. Pius Nasar, Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks. hlm. 42-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERBEDAAN MAKNA KEBAHAGIAAN PADA MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

  PERBEDAAN MAKNA KEBAHAGIAAN PADA MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN   Agus Sulistiawan, Nina Zulida Situmorang, Desi Ariska, Miftah H...